Lembaga Training Jawa Tengah | Trustco Jateng , training dan outbound. semarang, jawa tengah, 0248412467, 085640750440. - Sangat langka menemukan pribadi yang berintegritas di republik ini. Mayoritas orang mau bertindak karena ada keuntungan yang akan didapat. Berani bertindak benar hanya kalau kerugian yang ditanggung kecil atau ada sosok yang lebih berkuasa di belakang.
Rasa percaya diri muncul setelah memiliki uang banyak; berjalan tegak karena memiliki sederet gelar akademis dan reputasi publik. Eksistensi dan tindakan didikte oleh materi, situasi, perasaan dan tuntutan publik.
Tidak demikian dengan Yohanes Pembaptis, anak pemimpin agama bernama Zakaria. Hidupnya relatif singkat dan hanya mengabdi ke publik selama 6 bulan. Namun, ia memiliki integritas yang begitu solid.
Dengan tegas ia menyatakan siapa dirinya di depan publik. Ia tidak munafik. Ia tidak mencari muka. Ia tidak menjual citra. Ia berterus terang dan tidak menyembunyikan siapa dirinya.
Ia tidak juga menyalahgunakan persepsi-persepsi yang muncul dalam hati pendengarnya. Ia tidak mengelabui rakyat biasa sekalipun memiliki 'kuasa langit.' Ia memberikan nasihat kepada orang biasa dan berani mengkritik para pemimpin agama bahkan raja yang mengambil isteri adiknya, ia tegur dengan keras.
Tidak ada rasa takut ketika ia ditangkap, dipenjarakan, dan dibunuh. Ia sadar kalau nyawa melayang merupakan konsekuensi dari eksistensinya yang utuh.
Pribadi yang berintegritas seperti Yohanes tidak muncul begitu saja. Keberanian mengatakan
kebenaran tidaklah datang tiba-tiba. Itu
tidak datang karena memiliki kekuasaan
di publik, kekayaan, atau sederet gelar
akademis yang tinggi. Itu juga tidak
datang karena membaca puluhan
bahkan ratusan buku. Itu juga
bukan datang karena mengecap
pendidikan tinggi.
Sikap, integritas dan keberanian muncul karena pemahaman yang sungguh-sungguh akan siapa dirinya. Ia sadar akan eksistensi, tugas dan penggilannya. Tidak lagi ia menghiraukan apa untung atau ruginya menjalani hidup.
Ia tidak membuang waktu karena kesempatan mungkin tidak datang dua kali. Ia betul-betul menyelaraskan antara eksistensi, pengetahuan, tindakan dan perkataannya.
Pemahaman akan diri ini sering dilupakan. Orang tidak mengenal siapa dirinya. Ibarat orang yang berjalan dalam malam yang gelap, ia tidak tahu mau ke mana. Ia tidak tahu apa yang harus dipelajari dan dikerjakan; ia tidak mengerti untuk apa hidup.
Hidup diisi dengan aktifitas yang tidak punya makna. Kalaupun ada, hanyalah makna-makna sesaat. Kesementaraan yang menjadi sasaran; bagaimana agar memiliki fasilitas hidup yang nyaman, punya uang yang cukup, bisa menyekolahkan anak dan menikmati hari-hari tua dengan nyaman.
Seluruh usaha-usaha hanya ditujukan pada satu hal: keinginan diri. Tidak ada pengorbanan apalagi penyangkalan diri. Jalan sulit dihindari dan memilih jalan pintas. Yang selalu dipentingkan adalah hidup sekarang.
Seluruh pikiran, perasaan, kemauan, dan tingkah laku hanya untuk memenuhi keinginan hidup selama '70' tahun. Pribadi yang berintegritas hampir punah di negeri ini.
Muncullah keragu-raguan dalam hidup. Tidak ada pegangan yang kokoh. Tidak berani melakukan kebenaran dan mengatakan apa yang salah. Semuanya memikirkan resiko terhadap diri sebelum memutuskan apakah akan bertindak atau tidak. Yang diutamakan adalah keinginan pribadi dan kesenangan hidup dengan mengorbankan eksistensi diri.
Uang, harga diri, kuasa, dan jaminan hidup yang sementara menjadi sasaran hidup yang utama. Rela mengorbankan prinsip-prinsip universal demi hal-hal yang tidak bisa dibawa mati. Waktu tersita hanya untuk memikirkan perut yang hanya sejengkal dan harta yang hanya bisa diwariskan kepada orang lain.
Tenggelam dalam kenikmatan hidup sementara; tidak punya nyali keluar dari 'comfort zone;' dan selalu berdalih karena lebih mengutamakan keinginan daging. Tidak tahu dan tidak sadar bahwa manusia bisa mati dua kali.
Menyedihkan- itulah realita dari putra-putri negeri ini. Sulit menemukan sosok yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan yang Maha Esa seperti yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Sulit melihat model yang dapat dilihat dengan mata. Benar-benar eksistensi, pengetahuan, dan tindakan putra-putri negeri ini tidak sinkron.
Bagaimana agar eksistensi, pengetahuan, pemahaman dan tindakan sinkron? Masih tetap misteri, tapi tidak berarti harus bertanya kepada rumput yang bergoyang seperti yang dilantunkan Ebit G. Ade dalam lagunya Berita kepada Kawan. Alam memang tidak mampu menjawab seluruhnya.
Bayang-bayang jawaban memang ada dalam 'rumput yang bergoyang,' tetapi jawabannya hanya ada dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bisa ditemukan dalam wilayah agama. Di mana lagi, kalau bukan di Kitab Suci. Hanya di sana misteri keharmonisan itu disingkapkan.
Syukurlah di republik ini pernah ada pribadi yang berintegritas seperti Gus Dur, yang berusaha sekuat tenaga menyelaraskan antara eksistensi diri, pengetahuan, dan tindakan. Ia menangkap hampir seluruh goresan hati para pendiri republik ini.
Semoga Putra-Putri Indonesia menangkap, memahami dan mengamalkan nasihat yang sangat bijaksana dari pendiri republik ini, yang telah menggoreskan Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pembukaan UD 1945.
Rasa percaya diri muncul setelah memiliki uang banyak; berjalan tegak karena memiliki sederet gelar akademis dan reputasi publik. Eksistensi dan tindakan didikte oleh materi, situasi, perasaan dan tuntutan publik.
Tidak demikian dengan Yohanes Pembaptis, anak pemimpin agama bernama Zakaria. Hidupnya relatif singkat dan hanya mengabdi ke publik selama 6 bulan. Namun, ia memiliki integritas yang begitu solid.
Dengan tegas ia menyatakan siapa dirinya di depan publik. Ia tidak munafik. Ia tidak mencari muka. Ia tidak menjual citra. Ia berterus terang dan tidak menyembunyikan siapa dirinya.
Ia tidak juga menyalahgunakan persepsi-persepsi yang muncul dalam hati pendengarnya. Ia tidak mengelabui rakyat biasa sekalipun memiliki 'kuasa langit.' Ia memberikan nasihat kepada orang biasa dan berani mengkritik para pemimpin agama bahkan raja yang mengambil isteri adiknya, ia tegur dengan keras.
Tidak ada rasa takut ketika ia ditangkap, dipenjarakan, dan dibunuh. Ia sadar kalau nyawa melayang merupakan konsekuensi dari eksistensinya yang utuh.
Pribadi yang berintegritas seperti Yohanes tidak muncul begitu saja. Keberanian mengatakan
kebenaran tidaklah datang tiba-tiba. Itu
tidak datang karena memiliki kekuasaan
di publik, kekayaan, atau sederet gelar
akademis yang tinggi. Itu juga tidak
datang karena membaca puluhan
bahkan ratusan buku. Itu juga
bukan datang karena mengecap
pendidikan tinggi.
Sikap, integritas dan keberanian muncul karena pemahaman yang sungguh-sungguh akan siapa dirinya. Ia sadar akan eksistensi, tugas dan penggilannya. Tidak lagi ia menghiraukan apa untung atau ruginya menjalani hidup.
Ia tidak membuang waktu karena kesempatan mungkin tidak datang dua kali. Ia betul-betul menyelaraskan antara eksistensi, pengetahuan, tindakan dan perkataannya.
Pemahaman akan diri ini sering dilupakan. Orang tidak mengenal siapa dirinya. Ibarat orang yang berjalan dalam malam yang gelap, ia tidak tahu mau ke mana. Ia tidak tahu apa yang harus dipelajari dan dikerjakan; ia tidak mengerti untuk apa hidup.
Hidup diisi dengan aktifitas yang tidak punya makna. Kalaupun ada, hanyalah makna-makna sesaat. Kesementaraan yang menjadi sasaran; bagaimana agar memiliki fasilitas hidup yang nyaman, punya uang yang cukup, bisa menyekolahkan anak dan menikmati hari-hari tua dengan nyaman.
Seluruh usaha-usaha hanya ditujukan pada satu hal: keinginan diri. Tidak ada pengorbanan apalagi penyangkalan diri. Jalan sulit dihindari dan memilih jalan pintas. Yang selalu dipentingkan adalah hidup sekarang.
Seluruh pikiran, perasaan, kemauan, dan tingkah laku hanya untuk memenuhi keinginan hidup selama '70' tahun. Pribadi yang berintegritas hampir punah di negeri ini.
Muncullah keragu-raguan dalam hidup. Tidak ada pegangan yang kokoh. Tidak berani melakukan kebenaran dan mengatakan apa yang salah. Semuanya memikirkan resiko terhadap diri sebelum memutuskan apakah akan bertindak atau tidak. Yang diutamakan adalah keinginan pribadi dan kesenangan hidup dengan mengorbankan eksistensi diri.
Uang, harga diri, kuasa, dan jaminan hidup yang sementara menjadi sasaran hidup yang utama. Rela mengorbankan prinsip-prinsip universal demi hal-hal yang tidak bisa dibawa mati. Waktu tersita hanya untuk memikirkan perut yang hanya sejengkal dan harta yang hanya bisa diwariskan kepada orang lain.
Tenggelam dalam kenikmatan hidup sementara; tidak punya nyali keluar dari 'comfort zone;' dan selalu berdalih karena lebih mengutamakan keinginan daging. Tidak tahu dan tidak sadar bahwa manusia bisa mati dua kali.
Menyedihkan- itulah realita dari putra-putri negeri ini. Sulit menemukan sosok yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan yang Maha Esa seperti yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Sulit melihat model yang dapat dilihat dengan mata. Benar-benar eksistensi, pengetahuan, dan tindakan putra-putri negeri ini tidak sinkron.
Bagaimana agar eksistensi, pengetahuan, pemahaman dan tindakan sinkron? Masih tetap misteri, tapi tidak berarti harus bertanya kepada rumput yang bergoyang seperti yang dilantunkan Ebit G. Ade dalam lagunya Berita kepada Kawan. Alam memang tidak mampu menjawab seluruhnya.
Bayang-bayang jawaban memang ada dalam 'rumput yang bergoyang,' tetapi jawabannya hanya ada dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bisa ditemukan dalam wilayah agama. Di mana lagi, kalau bukan di Kitab Suci. Hanya di sana misteri keharmonisan itu disingkapkan.
Syukurlah di republik ini pernah ada pribadi yang berintegritas seperti Gus Dur, yang berusaha sekuat tenaga menyelaraskan antara eksistensi diri, pengetahuan, dan tindakan. Ia menangkap hampir seluruh goresan hati para pendiri republik ini.
Semoga Putra-Putri Indonesia menangkap, memahami dan mengamalkan nasihat yang sangat bijaksana dari pendiri republik ini, yang telah menggoreskan Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pembukaan UD 1945.
Sumber : http://www.putra-putri-indonesia.com/
EmoticonEmoticon