Kali
ini saya tertarik dengan buku ABSOLUTE HONESTY oleh Larry Johnson dan Bob
Phillips. Pada dasarnya buku ini membahas perlunya “keterbukaan” di dalam
sebuah perusahaan agar menjadi perusahaan yang memiliki integritas. Jadi, kata
“honesty” di sini bukan berarti harafiah kejujuran diri namun lebih dari itu:
adanya saling-kontrol dari individu di dalam organisasi baik antara pegawai
dengan atasan maupun dengan pemangku kepentingan lainnya. Artinya, perusahaan
yang memiliki kultur integritas harus dilandasi oleh sikap saling terbuka di
dalam menjalankan bisnisnya, tak ada yang ditutup-tutupi. Seorang Manager harus
terbuka menerima peringatan dari anak-buahnya bila terjadi kesalahan dari
keputusan yang diambilnya.
Yang
menarik bagi saya adalah bagian pembukaan dari buku ini dimana penulis memulai
penuturan proposisinya melalui sebuah istilah yang ia sebut sebagai The
Kumbaya Syndrome. Yang ia maksud adalah mengacu pada pengalaman mereka
berdua dalam menjalankan bisnis konsultansinya selama bertahun-tahun dimana
banyak perusahaan yang membangun budayanya dengan menekankan kepada pentingnya
kerja-sama atau yang sering didengung-dengungkan dengan istilah teamwork.
Bahkan dalam buku lain yang pernah saya (GW) baca istilah TEAM merupakan
singkatan dari “Together Everyone Achieves More” – sebuah singkatan apik
yang menyemangati dan sering juga saya kutip bila saya memfasilitasi lokakarya
atau memberikan pelatihan.
Larry
dan Bob menjumpai bahwa pada akhirnya banyak perusahaan yang membangun sistem
dengan filosofi “kelompok” (team) – artinya bagaimana agar sistem tersebut bisa
mengakomodir kerja-sama yang baik diantara individu di dalam perusahaan
tersebut dan mematikan pola-pikir terkotak-kotak (silo mentality). Tidak
salah tentunya membangun sistem manajemen seperti ini. Yang kemudian menjadi
masalah adalah bagaimana memaknai kerjasama itu. Sudah sangat sering dijumpai
di perusahaan di belahan bumi manapun bahwa syarat mutlak agar terjalinnya
kerjasama yang baik maka setiap orang harus “bersikap baik” (nice)
kepada individu lainnya baik kepada sesama pegawai maupun dengan atasan. Apa
salahnya? Tak ada salah sampai di sini. Yang kemudian dijumpai dalam praktek
adalah keinginan untuk selalu bersikap baik ternyata justru mematikan
sistem kendali dimana bila ada yang salah atau kurang memuaskan tak
ada yang berani melakukan kritik. Setiap individu dituntut untuk meneriakkan
semangat kerjasama yang kokoh dan bernyanyi KUMBAYA!
Di
sinilah pokok permasalahan mulai timbul: setiap orang menjadi merasa tidak enak
alias “ewuh pakewuh” (tidak enak – red.) untuk menegur atau
sekedar mengingatkan seseorang bila dijumpai sebuah kesalahan, karena takut
untuk dicap “tak sopan” atau “tak patut” atau standar lainnya yang sifatnya
membuat kita menjadi segan menyampaikannya secara terbuka. Inilah, menurut dua
penulis tersebut, yang menyebabkan kehancuran perusahaan seperti Enron yang
beberapa tahun lalu terjadi dan menggemparkan dunia.
Harus
saya akui bahwa budaya ewuh pakewuh inilah yang menyebabkan tumbuh-suburnya
korupsi di negeri ini. Karena lemahnya sistem umpan-balik di dalam sebuah
organisasi, maka seorang pegawai merasa tidak enak untuk memberikan masukan
secara terbuka. Di sisi lain, pihak yang sedang melakukan kesalahan baik tak
sengaja maupun disengaja (para koruptor) akan merasa tersinggung bila
ada masukan langsung yang ia terima. Keterbukaan telah dibendung tembok tinggi
dengan kedok “bersikap baik” kepada orang lain alias bahas Jawanya “Ngono
yo ngono ning ojo ngono” (Begitu sih boleh, tapi ya jangan begitu
caranya – red.). Kalau ingin membangun negeri ini bersih bebas dari korupsi
maka budaya “ewuh pakewuh” atau istilah kerennya The Kumbaya Syndrome ini
harus dikikis habis. Tembok tinggi yang membentengi keterbukaan harus
diruntuhkan.
Bagaimana caranya? Baca buku menarik ini. Namun secara
ringkas Larry dan Bob mengemukakan kerangka-kerja yang terdiri dari enam hukum
di bawah ini:
The
Six Laws of Absolute Honesty
1. Tell The Truth (katakan
yang sebenarnya)
2. Tackle The Problem (atasi
masalahnya, bukan menhindar)
3. Disagree and Commit (berani
tak menyetujui dan berkomitmen menjalankannya)
4. Welcome the Truth (menerima
dengan baik kebenaran, walaupun sakit)
5. Reward The Messenger (beri
penghargaan kepada peniup semprit – whistle blower)
6. Build a Platform of Integrity (membangun tatanan integritas yang kokoh)
Saya rasa, enam hukum tersebut dari segi logika sangat
“make sense” dan sepertinya mudah. Benarkah? Dalam prakteknya sulit karena
budaya ewuh pakewuh masih melanda negeri ini. Mari bersama-sama kita runtuhkan
budaya buruk ini.
Saya
jadi teringat sebuah lagu berdurasi panjang dari kelompok progressive rockThe
Flower Kings (Sweden) yang penggalan liriknya begini:
No one asking “how does it feel?”
In a world with no room for your needs
Putting words to the grief and the pain
Disappearing like tears in the rain
Hold out – you will see, the truth will set you free
In a world with no room for your needs
Putting words to the grief and the pain
Disappearing like tears in the rain
Hold out – you will see, the truth will set you free
Ya, saya yakin, kalau alam keterbukaan sudah menjadi
perilaku utama para birokrat di negeri ini, maka tak ada lagi ruang bagi
koruptor untuk bergerak, maka negeri ini akan benar-benar bersih dan melayani
…. Semoga.
Sumber : thevaluequest.wordpress.com
Sumber :
EmoticonEmoticon