Senin, 06 Juli 2015

KETERBUKAAN DALAM PERUSAHAAN

Kali ini saya tertarik dengan buku ABSOLUTE HONESTY oleh Larry Johnson dan Bob Phillips. Pada dasarnya buku ini membahas perlunya “keterbukaan” di dalam sebuah perusahaan agar menjadi perusahaan yang memiliki integritas. Jadi, kata “honesty” di sini bukan berarti harafiah kejujuran diri namun lebih dari itu: adanya saling-kontrol dari individu di dalam organisasi baik antara pegawai dengan atasan maupun dengan pemangku kepentingan lainnya. Artinya, perusahaan yang memiliki kultur integritas harus dilandasi oleh sikap saling terbuka di dalam menjalankan bisnisnya, tak ada yang ditutup-tutupi. Seorang Manager harus terbuka menerima peringatan dari anak-buahnya bila terjadi kesalahan dari keputusan yang diambilnya.
Yang menarik bagi saya adalah bagian pembukaan dari buku ini dimana penulis memulai penuturan proposisinya melalui sebuah istilah yang ia sebut sebagai The Kumbaya Syndrome. Yang ia maksud adalah mengacu pada pengalaman mereka berdua dalam menjalankan bisnis konsultansinya selama bertahun-tahun dimana banyak perusahaan yang membangun budayanya dengan menekankan kepada pentingnya kerja-sama atau yang sering didengung-dengungkan dengan istilah teamwork. Bahkan dalam buku lain yang pernah saya (GW) baca istilah TEAM merupakan singkatan dari “Together Everyone Achieves More” – sebuah singkatan apik yang menyemangati dan sering juga saya kutip bila saya memfasilitasi lokakarya atau memberikan pelatihan.
Larry dan Bob menjumpai bahwa pada akhirnya banyak perusahaan yang membangun sistem dengan filosofi “kelompok” (team) – artinya bagaimana agar sistem tersebut bisa mengakomodir kerja-sama yang baik diantara individu di dalam perusahaan tersebut dan mematikan pola-pikir terkotak-kotak (silo mentality). Tidak salah tentunya membangun sistem manajemen seperti ini. Yang kemudian menjadi masalah adalah bagaimana memaknai kerjasama itu. Sudah sangat sering dijumpai di perusahaan di belahan bumi manapun bahwa syarat mutlak agar terjalinnya kerjasama yang baik maka setiap orang harus “bersikap baik” (nice) kepada individu lainnya baik kepada sesama pegawai maupun dengan atasan. Apa salahnya? Tak ada salah sampai di sini. Yang kemudian dijumpai dalam praktek adalah keinginan untuk selalu bersikap baik ternyata justru mematikan sistem kendali dimana bila ada yang salah atau kurang memuaskan tak ada yang berani melakukan kritik. Setiap individu dituntut untuk meneriakkan semangat kerjasama yang kokoh dan bernyanyi KUMBAYA!
Di sinilah pokok permasalahan mulai timbul: setiap orang menjadi merasa tidak enak alias “ewuh pakewuh” (tidak enak – red.) untuk menegur atau sekedar mengingatkan seseorang bila dijumpai sebuah kesalahan, karena takut untuk dicap “tak sopan” atau “tak patut” atau standar lainnya yang sifatnya membuat kita menjadi segan menyampaikannya secara terbuka. Inilah, menurut dua penulis tersebut, yang menyebabkan kehancuran perusahaan seperti Enron yang beberapa tahun lalu terjadi dan menggemparkan dunia.
Harus saya akui bahwa budaya ewuh pakewuh inilah yang menyebabkan tumbuh-suburnya korupsi di negeri ini. Karena lemahnya sistem umpan-balik di dalam sebuah organisasi, maka seorang pegawai merasa tidak enak untuk memberikan masukan secara terbuka. Di sisi lain, pihak yang sedang melakukan kesalahan baik tak sengaja maupun disengaja (para koruptor) akan merasa tersinggung bila ada masukan langsung yang ia terima. Keterbukaan telah dibendung tembok tinggi dengan kedok “bersikap baik” kepada orang lain alias bahas Jawanya “Ngono yo ngono ning ojo ngono” (Begitu sih boleh, tapi ya jangan begitu caranya – red.). Kalau ingin membangun negeri ini bersih bebas dari korupsi maka budaya “ewuh pakewuh” atau istilah kerennya The Kumbaya Syndrome ini harus dikikis habis. Tembok tinggi yang membentengi keterbukaan harus diruntuhkan.
Bagaimana caranya? Baca buku menarik ini. Namun secara ringkas Larry dan Bob mengemukakan kerangka-kerja yang terdiri dari enam hukum di bawah ini:
The Six Laws of Absolute Honesty
1.    Tell The Truth (katakan yang sebenarnya)
2.    Tackle The Problem (atasi masalahnya, bukan menhindar)
3.    Disagree and Commit (berani tak menyetujui dan berkomitmen menjalankannya)
4.    Welcome the Truth (menerima dengan baik kebenaran, walaupun sakit)
5.    Reward The Messenger (beri penghargaan kepada peniup semprit – whistle blower)
6.    Build a Platform of Integrity (membangun tatanan integritas yang kokoh)
Saya rasa, enam hukum tersebut dari segi logika sangat “make sense” dan sepertinya mudah. Benarkah? Dalam prakteknya sulit karena budaya ewuh pakewuh masih melanda negeri ini. Mari bersama-sama kita runtuhkan budaya buruk ini.
Saya jadi teringat sebuah lagu berdurasi panjang dari kelompok progressive rockThe Flower Kings (Sweden) yang penggalan liriknya begini:
No one asking “how does it feel?”
In a world with no room for your needs
Putting words to the grief and the pain
Disappearing like tears in the rain
Hold out – you will see, the truth will set you free

Ya, saya yakin, kalau alam keterbukaan sudah menjadi perilaku utama para birokrat di negeri ini, maka tak ada lagi ruang bagi koruptor untuk bergerak, maka negeri ini akan benar-benar bersih dan melayani …. Semoga.

Sumber : 
thevaluequest.wordpress.com


EmoticonEmoticon