Teguh
melangkah dalam setiap amalan sembari menungguh ajal tak kunjung tiba hanya
takdir yang tahu, dan langkahpun semakin menjauh melihat kosmologis alam yang begitu
penuh mempesona membekas birahi. Halangan dan rintangan pun dilewati dengan
keikhlasan penuh membara dalam dada hingga membekas .
Naluritpun berkata mengapa hal ini bisa
terjadi,,,,! Mungkihkah sudah terhasut dengan beban-bedan pikiran dibawah alam
sadar ataukah nafsu yang telah membahana dalam jiwa hingga tak mampu lagi diri
mengendalikan, ohwwwww itu hanya saja semata-mata perasaan membebani pikiran
hingga mengusai batinku.
Sungguh tak ku kira yang selama ini
mengalir dibatiku, eloknya denyutan mu tampa tak terdengar oleh orang lain
dengan membisik-bisik suara halus mu hingga gelombang nafasmu dalam jiwa ku tampa
sadar. Tak ku kira engkau hanya main-main saja akan tetapi setelah kutatap
ternyata engkau serius merayap menghampiri aku.
Waowwwwwwww emang kisah asmara
ya,,,! Kata hati yang pertama kali menghampirinya namun bukan itu, ini
berbicara tentang dua sisi yang berbeda dibawah pikiran alam sadar seseorang yang
selalu mengalir beribu-ribu tahuan lamanya tampak diperhtungkan jumlah nominal
berapa?
Dengan sebuah kisah seorang anak
anak berumur 10 tahun yang ingin membeli ice cream untuk dirinya. Siang itu, si
anak mendatangi sebuah kedai minuman dan langsung duduk di salah satu tempat di
dalam kedai itu. Lalu seorang pelayan menghampirinya dan meletakkan gelas air
minum di depan si anak.
Hari itu si anak ingin sekali makan
ice cream favorite nya yaitu ice cream sundae. Lalu ia bertanya kepada si
pelayan tadi “mba, berapa harga satu porsi ice cream sundae?”. Lalu si pelayan
dengan cepat menjawab ” harganya 50 sen dik”. Si anak kemudian mulai merogoh
kantung celananya dan mengeluarkan semua uang koin yang ada di dalam kantung
celananya itu dengan perlahan, dan menghitung uangnya dengan hati-hati.
Sepertinya
si anak menyadari bahwa uang nya tidak cukup untuk membeli ice cream sundae
karena kemudian dia bertanya lagi pada si pelayan “kalau ice cream yang biasa
saja harganya berapa mba?”. Pada saat itu sudah banyak pengunjung kedai itu
yang sedang menunggu untuk dilayani. Si pelayan menjadi tidak sabar dan
menjawab dengan agak kasar pada si anak “harganya 35 sen”, sambil menunjukkan
sikap seperti orang yang sedang jengkel dan ingin meninggalkan si anak karena
tidak sabar.
Lalu
dengan perlahan, si anak kemudian menghitung uang koinnya lagi, dan kemudian
berkata pada si pelayan “Ya sudah, saya pesan ice cream yang biasa aja mba”.
Lalu si pelayan pergi meninggalkan si anak untuk mengambilkan pesanannya itu.
Tidak lama kemudia si pelayanan membawakan ice cream pesanan si anak tadi dan
meninggalkan bon di meja si anak, lalu si anak mulai menikmati ice cream yang
dia pesan.
Setelah
si anak menghabiskan ice cream yang dia beli, lalu dia membayar ice cream tadi
di kasir dan langsung pergi dari kedai itu. Ketika si pelayan akan membersihkan
meja yang dipakai anak tadi, dia melihat dua koin 5 sen dan 5 koin satu sen
yang sengaja diletakkan si anak di samping mangkuk tempat ice creamnya. Inilah
alasan kenapa anak itu tidak jadi membeli ice cream sundae seharga 50 sen,
karena si anak ingin memberikan uang tip yang layak (15 sen) pada si pelayan.
Si pelayan pun kaget atas kebaikan si anak tadi dan mulai menangis karena
terharu dan merasa bersalah telah berlaku agak kasar pada si anak.
Kita
pasti pernah berlaku seperti si pelayan pada orang lain yang baru kita kenal.
Sangat sering kita cepat mengambil kesimpulan dan menghakimi orang lain karena
kita melihat sebuah kejadian hanya dari satu sisi saja – hanya dari sudut
pandang kita sendiri. Sesuatu yang kelihatan tidak baik pada satu sisi
belum tentu tidak baik pada sisi yang lainnya. Apa yang dilakukan si anak tadi
– menghitung uang koinnya dengan perlahan – membuat si pelayan merasa jengkel,
ternyata berujung pada niat baik si anak yang ingin memberikan tip pada si
pelayan. Dan sayangnya si pelayan terlalu cepat menghakimi dan terlambat
menyadari kebaikan si anak.
EmoticonEmoticon