Trustco Jateng - Lembaga Training Jawa Tengah Telp. (024) 7691 7578 / HP. 085640-750440 Solikin / HP. 085640-398242 Suratman
Alkisah, ada pengusaha muda yang merupakan pelanggan sebuah kedai kopi terbaik di tengah kota. Kedai itu sendiri memang dikenal selain karena keramahan, kesigapan layanan—dan terutama—sajian yang diberikan merupakan salah satu yang terbaik di kota. Karena itu, si pengusaha muda sangat senang duduk santai atau melakukan pertemuan dengan relasi-relasinya di sana. Saking seringnya datang berkunjung, semua karyawan di sana—bahkan sampai bos pemilik kedai—mengenal baik dan memberi pelayanan yang istimewa untuk pelanggan setia yang juga dikenal sebagai pengusaha terhormat di kota tersebut.
Hingga suatu sore, seperti biasa, pengusaha muda itu telah menempati meja sudutnya. Ia terlihat menikmati sore itu dengan membaca pesan di telepon genggamnya, sambil menunggu pesanan yang rutin dipesan setiap hari.
Tidak lama kemudian tampak pelayan mendatangi mejanya sambil membawa secangkir kopi panas. Tetapi, karena kurang hati-hati dan tidak konsentrasi, saat mengangkat cangkir, kopi panas itu mendadak tumpah membasahi telepon genggam, baju, dan celana mahal si pengusaha.
“Heii..! Aduuh panas...! Mata kamu ke mana?!” Serunya terkejut, sambil berdiri. Tangannya sibuk membersihkan tumpahan kopi. Sesaat dia menatap marah kepada si pelayan yang ketakutan.
“Kamu orang baru, ya? Keterlaluan! Ini handphone, baju, dan celana mahal.. Pakai apa kamu untuk menggantinya..?!” Teriakan marahnya membuat si pelayan gemetar terdiam dan seisi kedai menoleh.
Pemilik kedai pun segera berlari menghampiri, “Maaf Tuan, maaf. Ini kesalahan kami.” Ia dengan sigap membersihkan pecahan cangkir dan tumpahan kopi, dan meminta pelayan lain untuk segera mengantarkan secangkir kopi gratis sebagai permintaan maaf.
“Ini pelayan baru. Tolong dimaafkan,” kata pemilik kedai, kepada pengusaha muda itu. “Dia baru dua hari kerja. Suaminya baru saja meninggal karena kebakaran di tempat tinggal mereka. Dia dan ketiga anaknya berhasil selamat dan saat ini mereka harus tinggal di tempat penampungan sementara. Saya menerimanya kerja di sini, juga lebih karena kasihan. Mungkin dia masih belum pulih sehingga kehilangan konsentrasi dan melakukan kesalahan ini. Maaf sekali lagi, Tuan. Jika harus mengganti, saya yang bertanggung jawab sepenuhnya sebagai pemilik kedai yang mempekerjakan dia.”
Mendengar keterangan itu, walaupun masih jengkel melihat celana dan baju putihnya yang terkotori oleh kopi, api kemarahan yang meluap tadi mendadak surut, malah berbalik empati dan mau mengerti. Pengusaha muda itu kasihan dan merasa tak sepantasnya ia berkata sekasar itu padanya. Ia pun akhirnya malah meminta maaf kepada pelayan baru tersebut.
Netter yang Bijaksana,
Emosi negatif seperti marah, iri, benci dan sebagainya, sering menghampiri kita. Sering, dengan memakai berbagai alasan, kita acap membiarkan emosi muncul dan berusaha mencari pembenaran untuk emosi yang meluap tersebut. Padahal kita tahu, emosi negatif mampu merusak akal sehat serta berpotensi melukai diri sendiri dan orang lain.
Memang, tak jarang kita pun sebenarnya juga memiliki alasan yang jelas dan bahkan bisa dibenarkan untuk meluapkan emosi. Tapi, jika kita mau menarik napas sejenak, menenangkan pikiran, kita seharusnya bisa lebih mampu mengendalikan diri. Apakah dengan emosi lantas masalah bisa terselesaikan dengan lebih mudah? Apakah dengan amarah semua persoalan bisa terselesaikan dengan baik dan benar?
Mari ubah sudut pandang, cari alasan berbeda untuk mengelola emosi negatif menjadi positif. Sehingga, kehidupan kita tidak tergerogoti penyakit miskin mental, yang pasti merugikan diri sendiri.
Salam sukses luar biasa!
Hingga suatu sore, seperti biasa, pengusaha muda itu telah menempati meja sudutnya. Ia terlihat menikmati sore itu dengan membaca pesan di telepon genggamnya, sambil menunggu pesanan yang rutin dipesan setiap hari.
Tidak lama kemudian tampak pelayan mendatangi mejanya sambil membawa secangkir kopi panas. Tetapi, karena kurang hati-hati dan tidak konsentrasi, saat mengangkat cangkir, kopi panas itu mendadak tumpah membasahi telepon genggam, baju, dan celana mahal si pengusaha.
“Heii..! Aduuh panas...! Mata kamu ke mana?!” Serunya terkejut, sambil berdiri. Tangannya sibuk membersihkan tumpahan kopi. Sesaat dia menatap marah kepada si pelayan yang ketakutan.
“Kamu orang baru, ya? Keterlaluan! Ini handphone, baju, dan celana mahal.. Pakai apa kamu untuk menggantinya..?!” Teriakan marahnya membuat si pelayan gemetar terdiam dan seisi kedai menoleh.
Pemilik kedai pun segera berlari menghampiri, “Maaf Tuan, maaf. Ini kesalahan kami.” Ia dengan sigap membersihkan pecahan cangkir dan tumpahan kopi, dan meminta pelayan lain untuk segera mengantarkan secangkir kopi gratis sebagai permintaan maaf.
“Ini pelayan baru. Tolong dimaafkan,” kata pemilik kedai, kepada pengusaha muda itu. “Dia baru dua hari kerja. Suaminya baru saja meninggal karena kebakaran di tempat tinggal mereka. Dia dan ketiga anaknya berhasil selamat dan saat ini mereka harus tinggal di tempat penampungan sementara. Saya menerimanya kerja di sini, juga lebih karena kasihan. Mungkin dia masih belum pulih sehingga kehilangan konsentrasi dan melakukan kesalahan ini. Maaf sekali lagi, Tuan. Jika harus mengganti, saya yang bertanggung jawab sepenuhnya sebagai pemilik kedai yang mempekerjakan dia.”
Mendengar keterangan itu, walaupun masih jengkel melihat celana dan baju putihnya yang terkotori oleh kopi, api kemarahan yang meluap tadi mendadak surut, malah berbalik empati dan mau mengerti. Pengusaha muda itu kasihan dan merasa tak sepantasnya ia berkata sekasar itu padanya. Ia pun akhirnya malah meminta maaf kepada pelayan baru tersebut.
Netter yang Bijaksana,
Emosi negatif seperti marah, iri, benci dan sebagainya, sering menghampiri kita. Sering, dengan memakai berbagai alasan, kita acap membiarkan emosi muncul dan berusaha mencari pembenaran untuk emosi yang meluap tersebut. Padahal kita tahu, emosi negatif mampu merusak akal sehat serta berpotensi melukai diri sendiri dan orang lain.
Memang, tak jarang kita pun sebenarnya juga memiliki alasan yang jelas dan bahkan bisa dibenarkan untuk meluapkan emosi. Tapi, jika kita mau menarik napas sejenak, menenangkan pikiran, kita seharusnya bisa lebih mampu mengendalikan diri. Apakah dengan emosi lantas masalah bisa terselesaikan dengan lebih mudah? Apakah dengan amarah semua persoalan bisa terselesaikan dengan baik dan benar?
Mari ubah sudut pandang, cari alasan berbeda untuk mengelola emosi negatif menjadi positif. Sehingga, kehidupan kita tidak tergerogoti penyakit miskin mental, yang pasti merugikan diri sendiri.
Salam sukses luar biasa!
Sumber : www.andriewongso.com
Untuk mendapatkan informasi produk-produk training kami
Gg. Salak , Muntal, Gunungpati
Kota Semarang, Jawa Tengah
Telp. (024) 7691 7578
Hubungi HP. 085640-750440 Solikin
HP. 085640-398242 Suratman
Gg. Salak , Muntal, Gunungpati
Kota Semarang, Jawa Tengah
Telp. (024) 7691 7578
Hubungi HP. 085640-750440 Solikin
HP. 085640-398242 Suratman
EmoticonEmoticon