Senin, 21 September 2015

Kaya Tanpa Harta

Telp. (024) 7691 7578 / HP. 085640-750440 Solikin / HP. 085640-398242 Suratman
 
Dalam berbagai kesempatan, kita selalu menemui banyak kiat, cara, rahasia untuk menjadi kaya dan meraih impian. Visi yang ditanamkan dalam alam bawah sadar pun punya pengaruh sangat kuat untuk menentukan keberhasilan.

Tapi, di balik semua itu, sebenarnya ada satu hal yang menurut saya lebih perlu dicari titik dasarnya, yaitu apakah benar menjadi kaya itu adalah tujuan? Lantas, kaya yang seperti apa? Sejauh mana kekayaan yang ingin kita peroleh dengan menerapkan teori sukses ala alam bawah sadar? Dan, satu hal lagi yang paling penting menurut pengalaman, sudah kita manfaatkan untuk apa kekayaan itu?

Saya sendiri memaknai kekayaan itu sebagai hasil. Dan, di sini, saya justru lebih menekankan pada prosesnya. Sebab, bagi saya pribadi, kekayaan memang penting, tapi kekayaan yang non materi justru lebih penting. Saat kecil, saya sering mendengar kalimat bijak sugih tanpa banda yang arti harfiahnya kaya tanpa harta atau materi. Bagaimana bisa? Begitu pikiran saya dahulu. Sebab, bagi orang yang hidup serba kekurangan, kaya itu mutlak berarti punya uang, bisa membeli apa pun yang kita mau, dan rumahnya pun pasti lebih pantas ditinggali. Maka, tentu sangat wajar jika saya yang sejak lahir berada di lingkungan serbamiskin kemudian bercita-cita ingin mengubah kehidupan.

Namun kini, berpuluh tahun kemudian, ketika impian telah jadi kenyataan, saya baru memahami, apa yang dimaksud dengan sugih tanpa banda atau kaya tanpa harta itu. Di balik sukses, di balik limpahan materi, di balik kejayaan yang didapat, di balik berbagai aksesoris duniawi yang serbaindah, ternyata saya justru menemukan kekayaan yang sesungguhnya ketika kita mampu berbagi kepada orang lain.

Maka, saat sugih tanpa banda ini kembali teringat di masa ketika saya sudah bisa mewujudkan berbagai mimpi, yang muncul justru kenangan rasa bahagia ketika saat kecil. Saat itu saya bisa berbagi telur—makanan yang kami anggap mewah—dengan kakak dan adik saya. Masa ketika masih belum punya apa-apa, menjadi pengalaman yang sangat kaya di mana hati dan rasa menjelma jadi “kekayaan” yang sesungguhnya. Kini, saya memaknai betapa bahagianya masa itu, yakni ketika di tengah ketakpunyaan, saya bisa berbagi. Di sini makna sugih tanpa banda menjadi makna yang sangat dalam artinya bagi saya.

Tak heran, ketika saya membaca kisah sang raja saham, Warren Buffett menyumbangkan 90 persen kekayaannya untuk kegiatan amal di Yayasan Bill and Melinda Gates, di sini saya kembali teringat, bagaimana konsep sugih tanpa banda menjadi “kekuatan”. Dalam konteks tersebut, barangkali itulah salah satu bentuk yang menjadikan Buffett justru kaya dalam arti sebenarnya. Ia menjadi sugih tanpa banda—meski tetap kaya dalam arti sebenarnya. Banda, atau materi yang didapat bukan dengan mudah, oleh Buffett disumbangkan karena ia merasa sudah sangat cukup, bahkan berlebih. Maka, ketika itu dilakukan, dan membuatnya tercatat sebagai seorang filantropis (dermawan) terbesar di dunia, ia sama sekali tidak kekurangan, namun justru berlebihan.

Inilah nilai sugih tanpa banda yang patut kita tiru. Saat menjadi kaya—dalam arti sebenarnya—dengan sikap tersebut kita dijauhkan dari godaan kesombongan, ketamakan, dan kerakusan yang kadang tak berujung. Sebab, jika kita menuruti sikap negatif itu, sampai kapan pun, kita tak akan pernah menjadi manusia yang “kaya”. Ujungnya, perasaan bahagia—yang nilainya lebih dari sekadar materi—jarang dimiliki.

Kaya memang tak dilarang. Punya harta juga adalah hal yang wajar-wajar saja, apalagi dibarengi kerja keras, ketekunan, dan kekayaan mental. Namun, kekayaan akan jauh lebih bermakna saat kita bisa membuat “kaya” orang lain di sekeliling kita, kaya hati, kaya rasa, kaya perhatian, kaya kebahagiaan, kaya persaudaraan. Saat itulah, sugih tanpa banda akan mendatangkan kekayaan yang sebenarnya…
Sumber : andriewongso.com


TRUSTCO NUSANTARA
Gg. Salak, Muntal, Gunungpati
(024) 7691 7578
085640750440 Solikin


EmoticonEmoticon