Kamis, 21 November 2013

Pidato kelulusan yang tak pernah kita harapkan

Saat pertama kali membuka FB pagi tadi, mataku tertuju pada sebuah tautan yang dikirim salah seorang teman.Dalam tautan tersebut diceritakan pidato Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Dia  adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Isi pidatonya sangat menarik dan menurut saya sangat memukau. Namun, setelah saya membacanya, ada rasa keprihatinan yang muncul.Cuplikan pidato ini dikutip dari tulisan di blog berikut: http://pohonbodhi.blogspot.com/2010/09/you-are-either-with-me-or-against-me.html

Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.

Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.

Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.

Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?

Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan.......”

Berikut videonya di Youtube



Apa komentar Anda tentang pidato di atas? Bagi saya ini sangat miris. Kehidupan seorang pelajar yang terkungkung target nilai tertinggi tanpa dia bisa merasakan kebahagiaan dalam meraihnya. Kungkungan ini mungkin dibuat oleh lingkungan di sekitarnya. Keluarga, sekolah, ataupun yang lainnya. Kebahagiannya meraih nilai terbaik dalam kelulusan justru menjadi awal ketakutannya. 

Sahabat semua, kita khususnya saya tentu tidak ingin ini dialami oleh anak-anak muda pelajar kita. Mereka harus berprestasi tapi tak harus kehilangan kebahagiaan dan ksempatannya mengembangkan hobi yang dicintainya selama positif tentunya.



EmoticonEmoticon