Trustco Jawa Tengah, Training, pelatihan dan outbound 0248412467, 085640750440 - Sejak diangkat menjadi Guru Besar dalam Ilmu Akuntansi pada akhir 2010
hingga kini, dalam sejumlah kesempatan saya sering mendapat pujian dan
sanjungan dari banyak orang. Mereka mengatakan begini, “Wah hebat! Anda
pasti orang yang luar biasa. Bagaimana caranya Anda bisa meraih gelar
Profesor / Guru Besar?”
Selain mendapat pujian, saya juga mendapat info bahwa sejumlah mantan
dosen saya saat kuliah S1 tidak percaya bahwa saya bisa mencapai tingkat
Guru Besar. Sejumlah rekan kuliah S1 saya juga menyatakan hal yang
sama. “Ah, Andreas Lako itu kan dulu tidak pintar. IPK-nya juga
pas-pasan. Kuliahnya juga 5 tahunan... Kok bisa ya, jadi doktor, guru
besar, dan profesor....”
Mendengar berbagai pujian, keraguan dan pertanyaan tersebut, saya hanya
tersenyum geli. Saya sulit menjelaskannya secara rasionalitas ilmiah.
Saya hanya bisa menjelaskannya dari perspektif iman.
Begini ceritanya. Setelah bekerja sebagai dosen dan menikah tahun 1997,
pada Agustus 1998 kami dikarunia anak pertama yang cacat total. Anak
kami ini menderita penyakit cerebral palsy (CP). Selain menderita secara
fisik, anak kami ini (namanya Gloria) juga sering keluar-masuk rumah
sakit sehingga membuat kehidupan ekonomi kami stressss. Anak kedua kami
yang lahir tahun 2000, juga mengalami kelainan pada kulitnya (penyakit
ichthyosis) dan sering sakit-sakitan juga.
Selain sangat menderita secara psikis, sosial dan iman, kami juga
menderita secara ekonomi. Semua penghasilan saya dan istri sebagai dosen
terkuras habis untuk membiayai pengobatan anak-anak kami, baik secara
medis maupun alternatif. Untuk hidup sangat susah.
Dalam kondisi hidup yang menderita dan stres secara ekonomi, saya
kemudian belajar menulis artikel untuk dikirim ke majalah dan
koran-koran nasional agar bisa mendapatkan uang. Meski pada awalnya
hampir semua tulisan yang saya kirim ditolak atau tidak dimuat, namun
saya tidak pernah putus asa. Saya terus-menerus mencoba dan belajar
menulis. Sering kali saya ditertawakan oleh istri dan keluarga, namun
saya tetap gigih mau menulis.
Ternyata, kegigihan saya lambat laun mulai membuahkan hasil. Beberapa
tulisan mulai dimuat. Bangga dan senangnya luar biasa ketika mulai ada
tulisan saya dimuat dan mendapatkan honor.
Saat diminta kampus untuk melanjutkan studi S2 (2000-2001) dan S3
(2002-2007) di UGM, saya manfaatkan waktunya dan pengetahuan baru yang
diperoleh saat kuliah untuk memperdalam kemampuan menulis saya. Hampir
semua tugas kuliah saya persiapkan dengan baik. Kemudian, saya tulis
kembali secara baik untuk dikirim ke majalah dan jurnal ilmiah yang ada
honornya. Saya juga aktif mengirim artikel ke berbagai simposium dan
konferensi yang ada hadiahnya bagi the best paper. Beberapa kali saya
mendapatkannya.
Selama 6 tahun kuliah S2 dan S3, saya bisa menghasilkan sekitar 70
artikel ilmiah di jurnal, 100-an artikel di media massa, dan 3 buku
referensi. Uang hasil tulisan itu sangat membantu perekonomian rumah
tangga kami, khususnya untuk pengobatan anak-anak kami. Saya juga bisa
lulus S2 dan S3 dengan predikat cum laude. Karena karya-karya yang
sangat banyak itu, pada tahun 2008 saya terpilih menjadi Dosen
Berprestasi Tingkat Jawa Tengah dan juga pada tingkat nasional. Pada
tingkat nasional, saya masuk dalam 10 besar.
Karena diajukan menjadi kandidat dosen berprestasi, saya pun
mengumpulkan semua karya tulis saya dan mendokumentasinya secara baik.
Prinsip saya, jika diberi kepercayaan oleh lembaga atau oleh siapa pun,
maka jangan sia-siakan kepercayaan itu karena hal itu sebenarnya berasal
dari Tuhan.
Setelah usai acara Dosen Berprestasi tingkat nasional, semua dokumennya
diminta kampus saya untuk dihitung nilai angka kreditnya. Setelah
dihitung, ternyata nilai angka kredit saya di atas 1000. Saya diberitahu
bahwa bisa loncat dari Lektor ke Guru Besar karena yang dibutuhkan ke
Guru Besar “hanya” 850 angka kredit.
Meski awalnya tidak berminat karena merasa tidak pantas dan
konsekuensinya pasti berat, namun mengingat jurusan, fakultas, dan
universitas saya juga membutuhkan saya menjadi Guru Besar, saya lalu
setuju untuk diajukan ke jenjang Guru Besar. Pada 1 Desember 2010,
keluarlah SK Menteri Pendidikan tentang pengangkatan saya menjadi Guru
Besar dalam Ilmu Akuntansi.
Secara rasional ilmiah, saya sulit menjelaskan pencapaian di atas.
Namun secara iman, saya merefleksikan bahwa pencapaian Guru Besar itu
adalah suatu mahakarya Allah. Gelar itu adalah hadiah termulia yang
diberikan Allah kepada saya.
Ternyata melalui penderitaan kedua anak saya, Tuhan mau membawa saya ke
tangga Guru Besar. Melalui jalanNya yang berat dan berliku, Allah mau
menempa saya untuk menjadi pribadi yang ulet, gigih, dan cerdas dalam
menghadapi realitas kehidupan.
Saya baru menemukan jawaban “rahasia” yang sesungguhnya itu justru pada
saat “menyendiri” mempersiapkan pidato pengukuhan Guru Besar pada April
2011. Ketika jawaban itu saya temukan, jantung terasa tak berdetak.
Saya terpaku di kursi dan meneteskan air mata. Pikiran saya menerawang
jauh mengenang kembali saat-saat mengalami cobaan demi cobaan dan
penderitaan demi penderitaan yang dialami kedua anak kami, khususnya
putriku Gloria yang telah dipanggil Tuhan pada akhir April 2006.
Saya juga semakin takjub terhadap kebesaran Allah karena di balik
berbagai cobaan atau ujian yang datang silih berganti kepada keluarga,
tapi selalu ada berkah dan pertolongan yang diberikan Allah. Saya
merasakan kehadiranNya. Itu sebabnya, saya sangat sulit menjawab
pertanyaan dari para kolega atau relasi tentang kiat-kiat menjadi
Profesor/Guru Besar karena sangat bersifat pribadi.
Sumber : http://kisah-motivasi.com/
EmoticonEmoticon