Telp. (024) 7691 7578 / HP. 085640-750440 Solikin / HP. 085640-398242 Suratman
Lalu, si anak
kembali bertanya, “Ayah, bolehkan aku minta uang jajan lebih hari ini?”
Sang ayah yang masih sibuk menjawab, ”Berapa yang kamu minta?” Sang anak
menjawab, “Sepuluh dolar saja.” Si ayah berkata dengan sedikit emosi,
karena si anak dianggap mengganggu kesibukannya, “Banyak sekali! Buat
apa uang segitu?”
Dengan kepolosannya, sang anak
menjawab, “Ayah, aku baru punya tabungan. Kalau ditambah sepuluh dolar
lagi, aku bisa membeli waktu ayah satu jam saja untuk bermain-main
dengan aku. Sisanya, anggap saja itu bonus untuk ayah karena mau
menyisihkan waktu bermain dengan aku.” Sang ayah terkejut mendengar
jawaban polos anaknya. Ia tersadar, ternyata, dirinya jarang menyisihkan
waktu untuk sang anak.
Masalah “klasik” seperti itu
banyak dijumpai di lingkungan sekitar kita. Banyak orangtua yang
menganggap, uang yang dikumpulkan sebanyak-banyaknya, dengan bekerja
keras hampir tak mengenal waktu, adalah salah satu solusi untuk dapat
membahagiakan anak dan keluarga. Akibatnya, waktu yang hanya 24 jam
sehari, nyaris tak bersisa untuk keluarga. Ujungnya, kedekatan anak dan
orangtua pun seolah jadi berjarak. Itulah mengapa, ada banyak orangtua
yang menyisihkan waktu di akhir pekan—Sabtu dan Minggu—agar benar-benar
jadi waktu khusus untuk keluarga. Tapi, banyak pula yang kadang, malah
menjadikan akhir pekan sebagai waktu lembur kerja.
Dilematis
Memilih
antara uang dan keluarga kadang memang jadi sesuatu yang dilematis. Di
saat ingin mencurahkan perhatian pada keluarga, kadang kebutuhan (baca:
uang untuk membeli berbagai macam keperluan) menjadi sesuatu yang harus
pula dipenuhi. Jika berimbang, barangkali tak masalah. Tapi, kadang yang
sering terjadi, malah keluarga jadi nomor dua.
Jika
itu yang terjadi pada keluarga kita, coba pertimbangkan hasil penelitian
berikut. Studi ini diadakan oleh University of Texas di Austin,
AS—melibatkan 274 pasangan menikah yang hidup di sekitar Teluk San
Francisco. Mereka diteliti dalam rentang waktu sepuluh tahun, yakni
antara 1981 hingga 1991. Semua keluarga diharuskan mengisi survey yang
diadakan dalam empat kali selama rentang waktu tersebut. Indikator yang
dijadikan materi survei adalah pendapatan keluarga; dukungan keluarga;
dan kebahagiaan.
Dalam penelitian yang dimuat pada
Journal of Family Psychology ini ditemukan bahwa ikatan kebahagiaan yang
kuat dari sebuah keluarga, tidak berbanding lurus dengan peningkatan
pendapatan keluarga. Ini mengindikasikan, bahwa kebahagiaan keluarga,
tidak selalu dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan.
Meski
begitu, dalam studi lain, yang dilakukan oleh ahli ekonomi Betsey
Stevenson, PhD, dan Justin Wolfers, PhD dari the Brookings Institution
di Washington, D.C., menemukan fakta, terdapat korelasi nyata di mana
keluarga yang memiliki penghasilan lebih banyak, ternyata memiliki
tingkat kebahagiaan lebih tinggi.
Lantas, manakah yang
pantas dijadikan patokan? Sebuah ungkapan yang lebih pas, barangkali
adalah: “uang bukan merupakan kunci kebahagiaan, tapi itu akan banyak
membantu”. Agar terjadi keseimbangan di antara keduanya, berikut
beberapa hal yang perlu kita cermati:
• Ketahui betul kebutuhan dan keinginan dari seluruh keluarga.
Kadang,
kita bekerja mati-matian karena—merasa—keluarga membutuhkan ini dan itu
untuk dipenuhi. Padahal, saat ditanyakan kepada keluarga, bisa jadi
kebutuhan itu hanyalah keinginan dari Anda sebagai kepala keluarga.
Untuk itu, jangan gunakan standar pemikiran Anda, tanyakan dan pastikan,
ajak berdiskusi, sehingga Anda bisa lebih mengatur mana kebutuhan dan
keinginan yang benar-benar diperlukan.
• Coba hitung ulang waktu kerja dengan waktu keluarga.
Saat
ada peluang, sering kali kita akan memilih untuk berjuang mati-matian
untuk dapat menjadikannya sebagai penghasilan (pencapaian). Tapi, saat
itulah, ketika kemudian kita berpikir, itu yang terbaik untuk keluarga,
cobalah tanya pada diri sendiri. Hitung ulang, berapa waktu yang
berkurang untuk keluarga akibat upaya keras mengejar peluang itu.
Misalnya, untuk mengejar uang Rp 100 juta, tapi waktu keluarga jadi
hanya 10% saja, apakah itu pantas? Cobalah atur kembali agar porsinya
lebih berimbang. Misalnya, cari peluang yang mendatangkan uang lebih
sedikit—toh tetap itu merupakan tambahan penghasilan—tapi waktu untuk
keluarga minimal tetap 50%.
• Atur keuangan dengan lebih bijaksana.
Salah
satu unsur yang kadang membuat kita merasa harus bekerja lebih keras
adalah karena keuangan kita yang—sepertinya—selalu kurang. Akibatnya,
sebagai kepala keluarga, kita merasa harus bekerja ekstra keras untuk
menutupi kekurangan itu. Padahal, sejatinya, dengan perencanaan keuangan
yang lebih matang, kita bisa lebih mengatur arus keuangan yang lebih
sehat. Sehingga, tiap bulan, kita tidak selalu terbebani dengan uang
yang—sepertinya—kurang.
Cara paling sederhana, misalnya
dengan memilih dan memilah keuangan, mana yang harus dipenuhi, mana
yang bisa ditunda. Selain itu, atur juga arus masuk dan keluar, serta
rencanakan biaya-biaya di masa depan, serta berapa yang harus ditabung.
Bila perlu, minta nasihat atau cari informasi bagaimana mengatur
keuangan yang lebih baik dan terencana.
• Jadikan keluarga sebagai “klien” kita.
Keluarga
dinomorduakan biasanya karena kita sering merasa keluarga adalah
“sumber kita menghabiskan uang” dan bukannya “sumber kita menghasilkan
uang”. Sehingga, saat itu dibandingkan dengan kepentingan yang
mendatangkan uang, sering kita lupa, bahwa keluarga sebenarnya juga
adalah “klien” kita. Untuk itu, perlu kita ubah pola pikir dengan
menempatkan keluarga sebagai “sumber penghasilan”. Bagaimana
rasionalisasinya? Bayangkan, jika keluarga puas dan bahagia, apa
dampaknya bagi kita? Kebahagiaan itu pasti akan menular kepada kita
sehingga kita pun bisa berkarya dan bekerja dengan semangat yang positif
pula. Akibatnya? Pekerjaan yang dilakukan dengan rasa senang, pasti
akan menghasilkan hasil yang maksimal. Sehingga, ujungnya, bisa jadi
pendapatan pun akan naik mengikuti “derajat” kebahagiaan kita.
Sumber : www.andriewongso.com
Untuk mendapatkan informasi produk-produk training kami
Gg. Salak , Muntal, Gunungpati
Kota Semarang, Jawa Tengah
Telp. (024) 7691 7578
HP. 085640-750440 Solikin
HP. 085640-398242 Suratman
EmoticonEmoticon