Jumat, 27 Mei 2016

Mengedepankan Simpati dan Empati

Telp. (024) 7691 7578 / HP. 085640-750440 Solikin / HP. 085640-398242 Suratman

Sebagai makhluk sosial, kita selalu hidup berdampingan dengan orang lain dengan berbagai macam tipe, sifat, dan kelakuan. Kadang, ada yang menyenangkan, penuh senyuman, dan selalu dibungkus dengan keramahan. Tapi, tak jarang juga, kita bertemu dengan kondisi di mana kita menemukan orang yang menyebalkan, penuh kemarahan, dan bahkan kebencian. Itulah dinamika kehidupan. Dan, sebagai pribadi, apa pun yang kita pilih untuk menyikapi keadaan tersebut, selayaknya kita harus selalu menjadi manusia yang pangerten.

Secara harafiah, pangerten dalam Bahasa Indonesia bisa dimaknai sebagai pengertian, yakni berupa gambaran atau pengetahuan tentang sesuatu untuk menangkap makna sebuah situasi atau perbuatan.  Dalam hal ini, biasanya jika pangerten dilingkupi dengan hati yang lapang dan pikiran terbuka, biasanya akan melahirkan makna yang penuh pembelajaran. Sebab, dengan sikap penuh pengertian, seseorang akan dapat menempatkan diri di tengah situasi dengan cara yang benar dan sekaligus, mampu membawa kebaikan. Bahkan, meski di tengah pilihan yang sulit sekali pun.  Hal ini dikarenakan sikap pangerten akan “melahirkan” dua sikap yang sangat penting kita miliki, yakni empati dan simpati.

Empati merupakan kemampuan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain. Dalam hal ini, empati yang dikembangkan dengan penuh rasa pengertian akan melahirkan sikap saling menghargai satu sama lain yang membawa kebaikan sejati. Sedangkan, sikap simpati, adalah wujud rasa belas kasih yang menunjukkan kepedulian pada keberadaan seseorang. Dengan simpati yang diberikan, dapat memunculkan rasa kebersamaan yang dapat membuahkan kebahagiaan yang hakiki.

Sikap pangerten ini bisa kita kembangkan dalam situasi dan kondisi apa pun. Dan, dalam wujud yang bermacam-macam, baik berdampak kecil, ataupun besar. Namun, pastinya, jika semua dilakukan dengan keikhlasan, pastilah akan menjadi bekal penting kehidupan.

Sebagai gambaran, saya mengambil contoh sebuah peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu. Kala itu, sehabis memberikan seminar motivasi, saya bersama keluarga dan beberapa rekan, mampir di sebuah depot untuk mencari minum guna menyegarkan badan. Kebetulan, saat itu, sekitar pukul 16.45 WIB, tempat itu masih sepi sehingga dengan mudah kami memarkir kendaraan.

Setelah selesai minum dan berbincang banyak hal, kami hendak pulang ke rumah. Namun, ketika hendak keluar, rupanya parkiran di sana sudah sangat penuh. Mobil saya terhalang kendaraan lain dan satu-satunya jalan adalah memundurkan kendaraan di belakang saya. Namun, kondisi mobil itu terkunci, sehingga tak bisa digeser.  Maka, kami pun mencari ke sana kemari, siapa yang memiliki kendaraan tersebut. Ada yang menyarankan, mencari di dalam depot. Namun, di sana sudah tak ada konsumen selain saya tadi. Akhirnya, ada seseorang yang memberi tahu bahwa pemilik kendaraan tersebut sedang mengikuti kebaktian di salah satu rumah ibadah di sekitar sana. Namun, kami diberitahu bahwa ibadah sedang berjalan dan baru selesai sekitar satu jam kemudian.

Saat itulah, seolah ada “perang” di batin saya. Menurut logika, adalah hak saya untuk meminta orang yang memiliki mobil itu untuk segera memindahkan kendaraannya. Apalagi, jika harus menunggu, saya dan keluarga masih harus menunggu satu jam kemudian. Tapi, hati kecil saya mengatakan, jika saya mengumumkannya saat kebaktian baru mulai, pastilah hal itu akan mengganggu ibadah yang berlangsung. Dan, sudah pasti akan berimbas pada jemaat lain yang tak tahu-menahu.

Akhirnya, kami pun memutuskan untuk menunggu dan kembali ke depot tersebut. Meski harus menunggu, keputusan itu membuat saya menemukan satu pelajaran penting. Yakni, saya merasakan “kemenangan” di mana saya merasa bahagia bisa memilih satu sikap pangerten. Pertama, “menang” karena bisa memberi pengertian tanpa emosi pada pemilik mobil setelah ia selesai ibadah. Sehingga, si pemilik mobil memiliki kesadaran baru untuk tidak melakukan kembali perbuatan yang sama. Kedua, “menang” karena mengedepankan empati dan simpati sekaligus, sehingga tidak mengganggu kenyamanan beribadah banyak orang.

Begitulah, rasa pangerten akan menjadi solusi dalam menghadapi berbagai pilihan, baik ringan ataupun berat. Seperti kejadian yang saya alami. Kejadian semacam itu mungkin dialami oleh orang lain juga.  Bentuk kejadian dan penyikapannya pun untuk setiap orang boleh jadi bisa berbeda-beda, tergantung situasi dan kondisi. Namun, apa pun yang kita pilih, dengan mengedepankan empati dan simpati sekaligus, kita sendiri akan mendapati banyak pembelajaran  yang berguna untuk kehidupan. Sehingga, kelak saat muncul berbagai macam persoalan, kita akan bisa lebih bijak dalam bersikap, sehingga akan mengantarkan diri mendapatkan kebahagiaan.
Sumber : www.andriewongso.com


Untuk mendapatkan informasi produk-produk training  kami
Gg. Salak , Muntal, Gunungpati
Kota Semarang, Jawa Tengah
Telp. (024) 7691 7578
HP. 085640-750440 Solikin
HP. 085640-398242 Suratman


EmoticonEmoticon