Jumat, 17 April 2015

8 Racun Dalam Kehidupan Kita

8 Racun Dalam Kehidupan Kita
Trustco Jateng  -  Lembaga Training Jawa Tengah Telp. (024) 7691 7578 / HP. 085640-750440 Solikin / HP. 085640-398242 Suratman
 
Hilary Bergsieker (profesor ilmu perilaku sosial dari Psychology Department Universitas Waterloo, Kanada) mengatakan bahwa kerusakan dalam berpikir dan bersikap dikarenakan "racun" dan energi negatif dalam pikiran kita. Pribadi yang sehat adalah amazing people yakni pribadi yang menarik, disukai, memiliki hubungan win-win dan bermanfaat bagi orang lain. Sebaliknya perilaku yang rusak dan beracun (atau toxic behavior) akan menimbulkan gesekan, persinggungan, pertengkaran, dan rasa tidak nyaman kepada orang lain.

Hilary menggarisbawahi bahwa toxic behavior dapat mengancam relasi hubungan dan pergaulan antar individu maupun kelompok dalam ruang lingkup organisasi, perusahaan, teman, rumah tangga, relasi, dan lainnya. Berikut ini 8 toxic behavior yang harus kita hindari:

1. Arrogance = Kesombongan
Kalau kita bersikap sombong terhadap orang lain maka "adrenalin negatif" akan menumpuk dalam pikiran dan hati kita. Badan kita akan menghasilkan energi negatif yang cenderung kuat menolak hal-hal yang baik, sekalipun datang dari orang yang kita anggap benar. Kesombongan adalah racun terbesar yang menutup daya pikir, akal sehat serta nalar kita terhadap hal positif.

Kesombongan bisa terjadi karena sikap "keakuan" yang kuat dan memandang dirinya lebih superior dan sukses dibanding orang lain. Orang yang bersikap seperti ini karena kurang memahami bahwa pada dasarnya setiap orang adalah subjek dan bukan objek dalam ruang lingkup kehidupan.

Contoh: ketika kita sukses maka kita menganggap bahwa prestasi tersebut adalah semata-mata karena kerja keras diri sendiri, dan bukan karena bantuan dan peranan dari teman, bawahan atau anggota keluarga dll, yang sebenarnya turut memiliki andil.

2. Ignorance = Ketidakpedulian
Ignorance terjadi karena tidak peka dan ketidak pedulian terhadap apa yang terjadi di sekeliling kita. Contoh: kalau ada orang sedang kesusahan, kelaparan, berduka, atau menderita, maka empati atau rasa kasihan tidak akan muncul dari diri kita.

Ignorance muncul karena kita takut berbagi perhatian dan kepedulian, dan menilai orang lain yang menderita semata-mata karena faktor nasib. Bukan karena faktor situasi yang mungkin bisa diubah karena bantuan dan perhatian kita.

3. Denial = Penyangkalan
Seberapa sering kita menyangkal terhadap apa yang telah kita perbuat dan merugikan pihak lain? Penyangkalan disebabkan karena kita tidak memiliki "jiwa dalam pikiran kita". Kita kehilangan kesadaran untuk berani mempertanggung jawabkan atas apa yang kita lakukan.

Penyangkalan kerap membuat kita buta terhadap realita yang sebenarnya. Ketika kebanyakan orang lain mengatakan warna putih adalah putih, maka kita tetap mengatakan hitam. Penyangkalan terjadi karena kita tidak peduli dengan perasaan orang lain.

Contoh: jika tim kerja kita mengalami kemerosotan kinerja, maka kita melepas tanggung jawab dan kenyataan sebenarnya, dan menyangkal dengan memberikan argumentasi dan pembelaan diri bahwa semuanya tetap berjalan baik.

4. Tinkering = Mengerjakan sesuatu tanpa keahlian
Banyak kisah sukses yang dimulai dengan tindakan dan cara berpikir hal-hal kecil dan sederhana. Dari situ kita dapat memupuk, melatih, dan mengasah potensi diri secara bertahap dan menjadikannya suatu keahlian yang kita kuasai. Untuk menjalankan suatu pekerjaan apapun, kita dituntut memiliki kemampuan dan keahlian baik secara teori dan praktik.

Tinkering bisa terjadi karena kita tidak mau belajar dan melatih diri agar menjadi lebih cakap. Akibatnya sering menjadi hambatan bagi orang lain. Kalaupun kita telah merasa pandai dan tidak mau terus belajar, maka kualitas keahlian akan menurun. Maka kemampuan kita bukan menjadi obat, tetapi dapat menjadi racun bagi orang lain.

Untuk mengubah keadaan, kita hendaknya berani memberikan pengorbanan melalui tenaga, pikiran, waktu, bahkan biaya, agar semakin berilmu dan tidak menjadi beban pihak lain.

Contoh: seorang penjual tidak mau belajar dari penjual yang sukses, membaca buku-buku penjualan atau mempraktikkan secara konsisten, disiplin, dan teratur. Akibatnya prestasi penjualan tidak pernah dicapai dan merugikan perusahaan serta dirinya sendiri.

5. Losing focus = Kehilangan fokus

Fokus adalah kemampuan untuk melakukan pekerjaan mulai dari perencanaan, penyusunan, tindakan, sampai evaluasi dengan baik, efektif, dan efisien. Ketidakmampuan kita untuk fokus sering disebabkan karena memikirkan dan bertindak pada hal-hal yang sepele dan kurang bermanfaat.

Untuk fokus, kita memerlukan latihan yang teratur, serta sikap tegas dalam menentukan sikap kita. Kehilangan fokus sering menjadi beban besar pada diri sendiri dan orang lain yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas kita sehari-hari.


Contoh: Pada saat kita harus menyelesaikan suatu tugas penting, kita lupa pada target waktu, ukuran, dan standar pencapaian hasil kerja.

6.  Permissive = Toleransi negatif
Lawan dari konsistensi adalah permisif yakni toleransi yang negatif (terhadap korupsi, manipulasi dan indisipliner).

Contoh: ada peraturan bahwa setiap orang dilarang terlambat masuk kerja; maka ketika kita membiarkan segelintir orang melanggar karena "unsur suka dan pilih kasih", maka akan merusak tatanan, standar dan aturan yang berlaku.


7. Egoism = Sikap keakuan (egoisme)
Sering dalam pergumulan hidup, kita bertanya: saya yang lebih penting atau orang lain yang harus saya seimbangkan dalam hubungan sosial. Kita sering menempatkan diri kita lebih berharga dan berarti dibanding yang lain. Kesalahan terbesar dalam menempatkan diri kita "sebagai yang paling berarti" menyebabkan kehilangan sikap dalam berbagi dan berempati kepada orang lain.

Egoisme muncul karena kita takut menghadapi realita bahwa hidup dan hasil yang baik harus diperjuangkan dan diperebutkan dengan cara yang elegan dan benar. Efek dari racun pikiran dan hati ini, membuat tindakan kita tidak merefleksikan kepentingan bersama. Tindakan kita akan lebih didominasi oleh imajinasi dalam pikiran kita yang keliru dan buruk karena mementingkan diri sendiri. Maka egoisme adalah bahaya besar yang membuat kita bersikap apatis terhadap kebutuhan yang seimbang dalam hubungan dengan orang lain.

Contoh: ketika kita membuang sampah sembarangan, maka kita hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli terhadap kesehatan, keselamatan, dan kebersihan lingkungan dan orang lain.

8.  Conflict = Pertikaian
Akumulasi dari persoalan hidup akan menyebabkan timbulnya pertikaian dengan orang lain (permusuhan, saling menyalahkan dan menghindar dari tanggung jawab). Konflik akan melahirkan sakit hati dan dendam pada semua pihak yang terlibat. Dan pertikaian akan menimbulkan suasana tegang pada semua pihak.

Konflik atau pertikaian timbul karena tidak mampu mengelola emosi dan egoisme yang menguasai diri kita. Konflik bisa terjadi secara mental, psikologis dan fisik yang tentunya akan merugikan semua pihak.

Meredakan dan mengurangi "racun-racun" dalam kehidupan kita akan berdampak positif kepada cara berpikir, berucap dan bertingkah laku. Sadari bahwa setiap manusia memiliki unsur-unsur positif yang lebih dominan daripada unsur-unsur negatif.

Tantangan terbesar bagi kita adalah mengelola dan mengembangkan kemampuan dalam mengikis secara bertahap semua unsur-unsur "racun" yang ada dalam diri kita, agar mampu menempatkan diri kita sebagai pribadi yang bermanfaat dan bernilai dalam pergaulan dan hubungan dengan orang lain.
Sumber : www.andriewongso.com


Untuk mendapatkan informasi produk-produk training  kami
Gg. Salak , Muntal, Gunungpati 
Kota Semarang, Jawa Tengah
Telp. (024) 7691 7578
Hubungi HP. 085640-750440 Solikin
HP. 085640-398242 Suratman


EmoticonEmoticon